Friday, July 26, 2019

Menikmati 5 Hari Sekolah

Menikmati Suasana 5 Hari Kerja

    Terlepas dari masalah kontrofersi dalam menanggapi serta menjalankan lima hari kerja sekolah, secara pribadi saya menikmati keputusan sekolah untuk menjalankan pembelajaran lima hari sekolah. Mayoritas kalangan guru di sekolah menyetujuinya walau pun ada beberapa guru yang tidak setuju dengan alasan tertentu seperti adanya beberapa sekolah yang memilih pembelajaran enam hari dari pada lima hari karena guru merasa tidak sanggup untuk menjalaninya sehingga sekolah tersebut mengambil langkah untuk kembali enam hari sekolah.
    Sebelum di gulirkan pun sekolah lima hari menuai pro dan kontra, namun bagi saya sekolah lima hari kerja perlu dinikmati. Secara pribadi dan khusus buat diri pribadi sangat tidak terpengaruh dengan gaya pola di sekolah seharian karena meski pun enam hari sekolah saya selalu pulang terakhir dan hampir tiap hari pulang sore. Mengapa demikian? Karena beban tugas yang menuntut untuk selal pulang terakhir seperti memantau kegiatan ekskul sekolah, memperbaiki komputer sekolah serta menyiapkan perangkat keras dan lunak untuk kebutuhan kegiatan CBT (Computer Base Learning).
    Selama ini saya lihat bapak/ibu guru serasa mulai dapat melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang pulang lebih lambat dua jam. Jika melihat sekolah lain yang merasa "tidak mampu" melanjutkan sekolah lima hari sepertinya ada beberapa masalah yang perlu dicermati. Saat bertemu dengan teman satu sekolah yang kini menjadi kepala sekolah menyatakan sekolah terlalu berani untuk melakukan kegiatan lima hari kerja seharusnya perlu dipikirkan program sekolah dengan jelas jangan sampai sekolah lma hari kerja banyak waktu yang hilang dan akhirnya menjadi boomerang bagi sekolah.
    Sepintas memang ungkapan seperti itu masuk akal, namun bagi sekolah yang tidak mau mencoba dulu serta merasakan sensasi lima hari sekolah juga dapat saya katakan tidak berani mencoba. Menindaklanjuti apa yang di ungkapkan oleh salah satu teman tersebut, memang benar adanya paling tidak banya hal yang perlu diperhatikan mulai dari pola makan, ekskul, jam istirahat, beribadah, sarana prasarana.
    Pola makan, berubahnya kebiasaan pulang memungkinkan siswa yang terbiasa makan siang di rumah akan merubah pola makannya sekaligus perlu kesigapan orangtua untuk memperhatikan asupan gizi bagi sang anak. Sebatas diketahui jika pola makan siswa sangatlah buruk, banyak didapati kasus siswa berangkat dalam keadaan perut kosong atau orang tua mempercayakan pada diri anak untuk membeli segala keperluan isi perut di sekolah. Tentu hal ini tidaklah mendidik meski pun kantin sekolah menyiapkan sajian makanan bergizi belum tentu siswa membeli, biasanya jajanan yang dibeli adalah jajanan beraroma dan berasa pedas, guri dengan kandungan MSG (Monosodhium glutamat). Untuk itu kesigapan orang tua untuk menghadirkan makanan sehat dari rumah sangat diperlukan sebagai menu untuk makan siang.
    Ekskul, keberadaan kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu bentuk layanan bagi siswa dengan tujuan lebih "kerasan" belajar di sekolah. Keberadaan pembina dan pelatih dalam kegiatan ekskul sangatlah perlu sebagai bagaian dari layanan sekolah utnuk meningkatkan kemampuan berorganisasi serta mengasah kemampuan berkompetisi. Harapannya dengan hadirnya ekskul siswa langsung bisa menjalankan program latihan dengan maksimal dan tidak perlu bolak balik datang ke sekolah.
    Jam istirahat, waktu melepas kepenatan yang khusus adalah saat jam istirahat. Untuk kegiatan istirahat di sekolah memerlukan waktu 20 menit untuk istirahat pertama dan 50 menit istirahat kedua. Durasi waktu yang panjang diharapkan dapat memulihkan semua kepenatan dalam belajar.
    Beribadah, ibadah merupakan hak semua orang sehingga dalam beribadah perlu diutamakan layanannya ketersediaan tempat ibadah di sekolah perlu di tingkatkan jika tempat wudhu hanya lima kran, perlu di tambah lagi sepuluh kran untuk melayani siswa yang beribdaha di musholla sekolah. Durasi kesempatan waktu panjang memungkinkan di bagi menjadi tiga tahap kegiaan beribadahnya.
    Sarana prasarana, ketersediaan sarana prasarana sangatlah penting. Sederhana saja saat hari siswa harus melakukan kegiatan Sholat Jumaat paling tidak sekolah harus menyediakan masjid. Salah satu keunggulan sekolah tempat saya mengajar adalah ada tiga masjid yang masing masing memiliki karakteristik berbeda.
    Namun semuanya, sukses dan tidaknya sekolah menjalankan pembelajaran lima hari kerja adalah tergantung pada guru sebagai ujung tombak sekolah, orangtua serta sekolah sebagai tempat untuk belajar. Kesuksesannya didapat karena dari ketiganya mampu mewujudkan nikmatnya lima hari kerja.

Nulis Sak Karepku



    Pengalaman hidup generasi per generasi memiliki perbedaan yang begitu tajam, hingga menggeser pola pandangan orang tua tentang pendidikan atau pun cara pandang bagaimana mendidik anak sebagai tanggung jawab sekolah. Disadari atau tidak lembaga pendidikan saat ini berada dalam posisi serba "repot", banyak urusan yang harus dikerjakan atau pun urusan yang harus diselsaikan dan tekadang tidak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan pendidikan.
    Banyak sekali beban tanggungan seorang pendidik dewasa ini yang katanya memasuki era milenial dan mau tidak mau harus menjadi milenial pula. Menghadapi generasi yang katanya milenial pun terkadang harsberbenturan dengan masalah sosial yang mengerucut menjadi masalah setara dengan tindakan setara kriminal karena ujung-ujungnya guru bisa saja masuk "penjara".
    Apa yang terjadi di tengah masyarakat kita saat ini tanpa sadar menjadi konsumsi publik yang sebetulnya di masa hidup orang tua dalam dekade kelahiran 70 an merupakan satu hal yang tidak layak dicontohkan bagi sorang pelajar. Salah satunya adalah model rambut, perkembangan model rambut di tingkatan siswa sekolah dasar dan menengah ternyata memiliki berbagai sebutan dan banyak model gaya, seperti model mohak, narsis, under cut atau pun model garis. Semua model gaya rambut tersebut tidak pernah ditemukan pada saat generasi kelahiran 70 an menjadi seorang murid.
    Model gaya rambut yang tidak begitu familiar dan terkesan tidak sopan ini menjadi trendy dan terkadang booming di kalangan pelajar sehingga tindakan sekolah pun perlu dilakukan dengan memberikan peringatan untuk merapikan atau pun melakukan pemotongan yang terkadang terkesan acak acakan hingga tidak rapi atau "petak" dalam bahasa jawanya. Karena "petak" inilah yang membuat orang tua merasa perlu melakukan protes ke sekolah.
    Berkaitan dengan model rambut biasanya diiringi dengan rambut yang di cat/di semir, kegiatan pewarnaan rambut ini biasanya terjadi saat liburan sekolah, sekali lagi ada dua masalah yang harus dihadapi oleh sekolah untuk kerapian rambut masalah kedua adalah rambut yang disemir. Sebagai pendidik terkadang heran juga, mengapa orang tua melakukan pembiaran saat melihat anak dengan model rambut yang tidak pantas bagi seorang pelajar dan bahkan disemir yang secara tidak langsung semir rambut untuk saat ini menjadi pendukung utama atas kerusakan rambut.
    Salahkah ketika sekolah harus melakukan sebuah tindakan merapikan rambut? Melihat posisinya sekolah, bisa dikatakan rambut rapi dan tidak di semir merupakan standar sebuah penampilan. Namun presepsi orang tua juga lain, jika penertiban yang dilakukan oleh sekolah terkesan tidak rapi. Namun jika hal tersebut sampai pada pengaduan ke penegak hukum saya rasa juga kurang pas dan tindakan yang tidak bijaksana. Secara psikologis, dikawatirkan ada pembenaran bagi seorang anak bahwa penampilan rambut yang tidak rapi dan di semir merupakan tindakan yang benar dan jika berbuat salah pasti orang tua akan selalu membela bahkan penegak hukum pun berada di depan untuk membela. Sungguh sangat ironis jika masalah ini berada dan tertanam dalam pribadi seorang pelajar, lalu bagaimana dengan harapan terbentuknya karakter bangsa di dalam sebuah pendidikan?
    Setelah masalah rambut dan semir rambut, masalah yang patut dipertanyakan keberadaanya dalam dunia pendidikan adalah hand phone. Disadari atau pun tidak saat ini, pendidikan seolah-olah sangat tergantung dengan hand phone terlebih dengan smart phone. Di lingkungan guru pun ada yang merasa bahwa hand phone merupakan barang penting dalam pendidikan karena berbagai informasi bisa di dapatkan di dalamnya.
    Meski pun lama memberikan materi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), namun keberadaan hand phone sebagai media belajar masih tidaklah terlalu penting, sebetulnya lebih penting mempergunakan media notebook atau pun laptop karena penggunaanya lebih luas. Dewasa ini orang tua pun begitu bangganya membelikan hand phone yang berkelas pada putra putri kesayangan, dan ironisnya kebanggaan tersebut tanpa diimbangi dengan kontrol.
    Pengalaman masalah di sekolah yang berkaitan dengan hand phone yang bikin "gaduh" salah satunya perbuatan mengupload suatu peeristiwa yang pada akhirnya terjadi contact social di masyarakat yang sebetulnya dapat dihindari jika tidak ada kehadiran hand phone. Belum lagi kegiatan bully yang sering dilakukan seorang pelajar melalui sebuah hand phone.
    Usia merupakan salah satu jawaban untuk membatasinya, kita masih ingat saat pertama kali email di temukan, ketika mendaftarkan diri usia yang dapat diterima adalah usia di atas 16 tahun yang artinya usia saat itu adalah usia matang untuk bisa berinterkasi dengan duia maya. Namun mesin masih bisa "diakali", dengan menuakan usia sudah beres urusan dan sudah bisa digunakan untuk bersosialisasi di media internet.
    Batasan usia pun adalah jawaban yang tepat untuk penggunaan kendaraan bermotor seperti sepeda motor, undang-undang lalu lintas melarang penggunaan kendaraan bermotor bagi seseorang yang usianya di bawah 17 tahun. Apa yang terjadi di masyarakat kita? Anak sekolah dasar pun bisa mengendarai sepeda motor, apalagi saat ini dengan hadirnya sepeda motor matik semakin banyak penggunaan sepeda motor pada usia belia.
    Pada handphone dan sepeda motor ini pun sekolah kewalahan dalam menanganinya, karena tidak ada persamaan persepsi antara sekolah dengan orang tua. Saat dihimbau tidak diperkenankan membawa hand phone di sekolah berbagai alasan pun muncul, padahal sekolah pun sudah memberikan fasilitas penggunaan hand phone sekolah untuk menghubungi orang tua. Sepeda motor pun juga demikian, alasan orang tua tidak ada yang mengantar atau tidak sempat mengantar, bahkan dukungan eksternal pun seakan-akan melegalkan untuk"boleh" membawa motor yaitu fasilitas penitipan sepeda yang berada di sekitar wilayah sekolah.
    Empat masalah berupa model rambut, pengecatan rambut, handphone dan sepeda motor merupakan empat masalah yang dapat diselesaikan dan dimusyawarahkan bersama dengan satu itikad bersama-sama membangun karakter pendidikan yang diharapkan. Ini hanyalah merupakan ungkapan dari sebagaian masalah yang berkaitan dengan masalah kesiswaan. Generasi saat ini generasi yang katanya milenial dan bukan jadul lagi, namun kita yang merasa jadul juga pernah menjadi generasi yang modern pada saat yang lalu, dengan saat ini kita menerjuni dunia anak milenial barangkali kita bisa merasakan dunianya dan dapat memberikan apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi generasi milenial.